Belajar dari Semut

Puasa Ramadhan adalah belajar dari koloni semut. Sesuatu yang menarik muncul ketika melihat buku yang ditulis Kazio Simogaki, tentang "Civil Society" (Masyarakat Madani). Bukan karena lantaran isinya semata, melainkan juga karena desain sampul (cover) yang ada. Di mana dalam gambar sampul tersebut tergambarkan seolah-olah meletakkan semut sebagai analogi simbolik dari sistem ideal untuk membangun "human civilization".
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa hal yang demikian itu harus belajar dari semut? Kalau kita telusuri secara teliti dapat diambil suatu pembelajaran bahwa setiap koloni semut yang ada dipersimpangan jalan itu pasti memiliki "at home living", yang sekaligus di tempat tersebut sebagai pusat aktivitas administratif dan birokrasi (centrum kekuasaan). Maka dari itu, biasanya di tempat induknya itu banyak semut yang posturnya lebih besar, namun jumlahnya lebih sedikit. Dan, biasanya juga banyak semut kecil datang yang kemudian menyalami (tentu dengan cara mereka).
Keunikan yang perlu dieksplore adalah adanya sistem penguatan "power shift" secara regulatif dan mekanistik. Mereka seakan telah memiliki sistem konstitusi kekuasaan yang mengedepankan sebuah pelayanan publik. Pendekatan pada harmonisasi sosial dan egalitarianisme pada setiap level komunal menjadi titik temu dari problem hirarchisme sosial dan kultural.
Begitu juga dengan persoalan "economical share". Pada semut, ketika menemukan makanan dalam kapasitas besar atau kecil, mereka memiliki aturan sendiri-sendiri. Ketika berada pada makanan dalam jumlah yang besar, semut kecil (rakyat) ini akan mengundang yang lain untuk menikmatinya yang tentunya jumlah semutnya juga banyak. Uniknya adalah setiap semut yang habis menikmati, mereka juga membawa makanan untuk diberikan kepada yang belum mendapatkan (yang seolah-olah menjadi ajaran doktrinal solidaritas sosial). Sedangkan yang lainnya membawa untuk dipersembahkan kepada pimpinan mereka. Hal itu hampir menyerupai sistem fiskal. Meskipun jumlah makanan sedikit, di samping untuk dirinya, tetapi juga masih ada ketersediaan untuk membagi dengan yang lain. Hal yang sama juga terjadi dalam pola relasi sosial, yaitu toleransi sudah menjadi kultur sosial semut. Kita sering menjumpai antar semut jika berpapasan (ketemu) di jalan akan saling mencium (itu adalah bentuk toleransi, silaturrahim).
Yang menjadi menarik adalah konsep kesejahteraan yang dibangun. Dalam konsep "economical share" yang diterapkan sangat berorientasi pada sistem, regulasi dan struktur penguatan ekonomi rakyat. Di mana, semut kecil (rakyat) diberi keleluasaan berusaha, dengan pranata yang tersedia baru membayar kewajiban pada pemerintah. seolah-olah tergambarkan rakyat sudah memiliki regulasi otonom tentang pengelolaan sumber ekonomi. Termasuk dalam representasi liberalisasi kapital individual maupun sosial. Intinya adalah akar problem responsibility. Dan pemerintah (negara) tidak punya hak terlibat dalam monopoli asset, atau umber ekonomi. Fungsinya hanya mengatur saja. Makanya tidak ada semut besar (penguasa) yang berada di pusat makanan itu.
Karena posisinya sebagai "pemerintah" yang tak lain adalah sebagai fasilitator dan regulator, maka semut besar hanya mengawasi (controlling) terhadap berjalannya mekanisme pemerintah, sosial dan pasar.
Ternyata Allah memberikan keunikan hidup yang rumit dengan cara yang sangat sederhana. Bahkan cita-cita besar "civil society" hanya tergambar dalam perilaku koloni komunalitas semut. Semoga puasa kita juga mampu memberikan pencerahan. Amin........

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger