SBY-Boediono dan Program Kerja 100 Harinya

Refleksi 100 hari program kerja pasangan SBY-Boediono, tanggal 20 Oktober 2009 - 28 Januari 2010.

Kita sebagai masyarakat bangsa Indonesia tentu ingat dan hafal betul dengan tradisi janji-janji politik yang kemudian menjadi penarik massa untuk menjadikan calon sebagai pemimpin. Ada sebagian yang menaruh harapan besar terhadap janji tersebut, bahkan ada juga yang apriori dan cenderung acuh tak acuh. Namun, sebagai masyarakat yang telah lama menantikan Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat, adil dan makmur tentu menginginkan janji politik tersebut bukan hanya sebagai argumentasi politik saja, melainkan lebih ke wilayah praktek lapangan dan kebijakan yang mampu mewujudkan harapan masyarakat bangsa Indonesia.

Hal ini sama dengan Pemilu Presiden (Pilpres) 2009, dimana tampil sebagai pemenang adalah duet pasangan SBY-Boediono, menyingkirkan lawan-lawannya yaitu JK-Wiranto dan Mega-Prabowo. Dalam Pilpres, sebagai calon pemimpin bangsa ini harus mempunyai visi dan misi yang jelas terhadap pembangunan masyarakat dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Visi dan misi tersebut kemudian dijadikan landasan program kerja pemerintahan selama kurun waktu kepemimpinan.

SBy-Boediono dalam janji politiknya, menyebutkan 5 pondasi kebijakan sebagai desain pemerintahan 5 tahun mendatang. Dari 5 pondasi tersebut, dalam dokumen visi dan misi pasangan SBY-Boediono kemudian dikembangkan menjadi 13 program kerja pemerintahan. Program kerja tersebut antara lain:
  1. Melanjutkan program pendidikan nasional,
  2. kesehatan masyarakat,
  3. program penuntasan kemiskinan,
  4. menciptakan lebih banyak lagi lapangan kerja bagi Rakyat Indonesia,
  5. melanjutkan program pembangunan infrastruktur perekonomian Indonesia,
  6. meningkatkan ketahanan pangan dan swasembada beras, gula, jagung, dsb;
  7. menciptakan ketahanan energi dalam menghadapi krisis energi dunia,
  8. menciptakan good governmentdan good corporate governance,
  9. melanjutkan proses demokratisasi,
  10. melanjutkan pelaksanaan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi,
  11. pengembangan teknologi,
  12. perbaikan lingkungan hidup,
  13. dan pengembangan budaya bangsa.

Berkaitan dengan program kerja di atas, terjadi perdebatan yang sangat mencolok antara konsep ekonomi kerakyatan dengan ekonomi neoliberal, dimana kemudian pasangan SBY-Boediono memakai konsep "Jalan tengah" sehingga visi misi yang dilontarkan menjadi abstrak. Kenapa demikian? Dalam melaksanakan program, seorang pemimpin harus memiliki prioritas, karena dengan mengambil konsep "jalan tengah" seolah-olah ingin melepaskan diri perdebatan yang muncul. Secara paradigma memang ini berpengaruh terhadap pembangunan bangsa, namun yang menjadi permasalah di sini adalah pembangunan menjadi tidak populis dan cenderung memunculkan elitis-elitis baru.

Kemudian, dalam pidato pengukuhan SBY-Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 20 Oktober 2009, pasangan ini juga memunculkan tradisi yang sebelumnya juga pernah dilakukan dengan duet berbeda, yaitu program kerja 100 hari. Di antara program kerja 100 presiden tersebut adalah:
  1. Pemberantasan mafia hukum,
  2. revitalisasi industri pertahanan,
  3. penanggulangan terorisme,
  4. kesediaan listrik,
  5. peningkatan produksi dan ketahanan pangan,
  6. revitalisasi pabrik pupuk dan gula,
  7. penataan tanah dan ruang,
  8. peningkatan infrastruktur,
  9. peningkatan pinjaman Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Usaha Menengah,
  10. pendanaan,
  11. penanggulangan perubahan iklim dan lingkungan,
  12. reformasi kesehatan dengan mengubah paradigma masyarakat,
  13. reformasi pendidikan,
  14. kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana alam, dan
  15. koordinasi erat pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan di segala bidang.

Dalam pidato tersebut juga disebutkan bahwa, program kerja 100 hari adalah sebagai batu pijakan dalam pembangunan 5 tahun mendatang. Sepeti dilansir dari pidato tersebut, orientasi kebijakan pembangunan kabinet adalah pembangunan untuk semua dan bukan untuk kelompok serta golongan. Berkaitan dengan itu, SBY juga menyinggung upaya mencapai pembangunan untuk semua itu haruslah didukung oleh kerja kabinet yang profesional. Sementara, fakta menunjukkan berbeda. Adanya akomodasi jatah kabinet dari pihak lawan tentu mengisyaratkan aroma kompromi politik agar pemerintahan tidak diganggu di tengah jalan.

Meskipun ada banyak permasalahan lain, seperti sikap tempramental koruptif masih meraja lela, ganti pejabat ganti mobil dinas, mafia hukkum masih berkeliaran, proyek pembangunan ala kadarnya, dan sebagainya, tidak lantas menghilangkan makna dari program kerja 100 Presiden. Harapannya 100 hari tidak hanya menjadi angin lalu dan angin surga yang meninabobokan kita, masyarakat bangsa Indonesia.(*)


Abdul Muis

(Sekum HMI Korkom UIN Malang, Periode 2007-2008)

1 comments:

el-muis mengatakan...

Saya Koq jadi pesimistis dengan kinerja pemerintah saat ini, terlampau banyak masalah yang sebetulnya sudah jelas sumbernya, namun dibuat semakin menjadi abu-abu.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger