Judul : Saatnya Dunia Berubah, Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung
Penulis: DR. Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K)
Penerbit: PT. Sulaksana Watinsa Indonesia Jakarta
Cetakan: I, 2008
Tebal: xii + 206 halaman
Harga : 75.000
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari bikin gerah World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Fadilah menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1).
Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia . Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul “Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.”
Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It’s Time for the World to Change. Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakukan negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung.
“Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita,” ujar Fadilah kepada Persda Network di Jakarta , Kamis (21/2).
Situs berita Australia , The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi. Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO.
“Kegerahan itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka gerah, monggo mawon. Betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja dibikin gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menidas kita, lewat WTO, lewat Freeport , dan lain-lain. Coba kalau tidak ada kita sudah kaya,” ujarnya.
Ibu menteri bahkan menggagas kembali semangat anti-imperialisme pada saat, hingga saat ini, masih terjadi eksploitasi antara manusia satu dengan lainnya (exploitation de l’home par l’home). Bacalah pemikirannya berikut ini:
“Betapa tidak bergunanya saya di sini bila saya biarkan ketidakadilan ini mengoyak hak manusia untuk hidup bersama di dunia. Inilah yang isebut Bung Karno sebagai neo-kolonialisme atau exploitation d’l home par l’home. Ataukah neo-kapitalisme? Ataukah imperialisme? Apakah saya harus diamkan saja hal ini berlalu begitu saja? Ataukah saya harus berbuat sesuatu untuk melawannya?... Kita merdeka tapi tidak berdaulat, kita berdaulat tapi belum merdeka” (hlm. 12).
Bermula dari mewabahnya virus flu burung di Indonesia sejak 3 tahun lalu. Sebagai penyakit menular yang baru, virus yang dikenal sebagai H5N1 yang mematikan ini bukan hanya mengancam keselamatan rakyat Indonesia, tetapi juga seluruh umat manusia di dunia. Dalam perkembangannya ternyata virus tersebut juga bukan semata-mata berkaitan dengan masalah kesehatan, tetapi juga masuk dalam wilayah hubungan kepemilikan kapitalistik di mana vaksin virus dimonopoli oleh segelintir orang yang ingin mengomersialisasikannya—pada hal bahan dari vaksin itu seniri berasal dari virus yang berasal dari negara-negara miskin (dalam kasus H5N1 berasal dari Vietnam dan belakangan Indonesia dengan tingkat yang lebih ganas).
Faktanya, 90% perdagangan vaksin di dunia dikuasai oleh 10% penduduk yang tersebar di negara-negara kaya. Komersialisasi demi mengejar laba berkaitan dengan mekanisme yang tidak demokratis di WHO karena para kapitalis vaksin telah mencuri dan mengadakan penelitian yang lalu dijual dengan harga yang mahal pada negara-negara miskin. Negara Vietnam yang mengirim virus H5N1 ke WHO tidak pernah mengerti ke mana virus yang pernah dikirim itu sekarang dan diapakan virus itu kemudian. Tahu-tahu sudah beredar di dunia sebagai vaksin yang diperjualbelikan dengan harga yang tak terjangkau oleh negara-negara yang sedang berkembang. Sementara rakyat Vietnam meninggal akibat Flu Burung, di depan mata para kapitalis Barat itu menawarkan vaksin dengan Vietnam strain. “Alangkah tidak adilnya dunia ini!”, kata Ibu Menteri Kesehatan, “bahkan bila rakyat Vietnam membutuhkan vaksin tersebut harus membelinya dengan harga mahal. Ironisnya lagi, kalau tidak mampu membeli ya hanya bisa menerima nasib saja” (hlm. 11).
Sebagai kisah tentang catatan perjuangan, baik melalui forum-forum dan sidang diplomasi, penelitian dan upaya kampanye melalui media massa, perjuangan keras seorang perempuan yang menjabat sebagai menteri ditunjukkan dalam buku ini. Ibu Menteri menuding pihak kapitalis AS sebagai biang dari semuanya. Ditemukan bahwa ternyata tidak semuanya dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan di WHO Collaborating Center (WHO CC). Data yang disimpan di WHO CC, entah bagaimana hal itu dilakukan, ternyata malah disimpan di Los Alamos atau Los Alamos National Laboratory di New Mexico Amerika Serikat (AS), dan hanya sedikit ilmuwan yang dapat mengakses ke sana (sekitar 15 grup peneliti di mana 4 dari jumlah ini mewakili WHO dan sisanya tidak jelas dari mana asalnya—keungkinan orang-orang korporasi bisnis). Laboratoratorium Los Alamos tentu saja berada di bawah Kementerian Luar Negeri AS. Di laboratorium inilah dulu dirancang Bom Atom untuk mengebom Hiroshima di tahun 1945, tentunya juga senjata biologis yang pernah digunakan AS dalam Perang Vietnam. Ibu menteri menyebutnya sebagai skandal (hlm. 17-19).
Secara kronologis, buku ini memang merupakan refleksi atau catatan perjalanan. Di hadapan sidang internasional World Health Prganization (WHO) dan WHA (World Health Assembly) tahun 2007, Indonesia di bawah pimpinan Ibu Menteri Kesehatan telah melakukan terobosan dan berhasil mengungkap kejahatan kapitalisme virus. Berlanjut pada pidato beliau di Genewa Swis dalam Inter-Govermental Meeting for Pandemic Influenza Preparedness, 20 November 2007 dan New Delhi International Ministerial Conference on Avian Pandemic Influenze 1-4 Desember 2007 lalu, terobosan pemikiran dan tindakan Ibu Siti Fadilah Supari telah membuka mata dan kesadaran negara-negara miskin dan berkembang lainnya untuk ikut menuntut perombakan sistem kesehatan dunia di bawah WHO agar menjadi adil, transparan dan setara. Bersama India, Kuba, Venezuela, Iran dan beberapa negara lainnya bahkan sempat muncul gagasan membentuk Poros Selatan-Selatan untuk perjuangan di bidang kesehatan ini.
Buku ini merupakan karya yang bersejarah karena menandai adanya keberanian untuk melawan ketidakadilan global. Selama ini jarang pejabat, apalagi seorang menteri, yang memiliki sentimentalitas dan idealisme untuk mengungkap secara lugas dan blak-blakan fakta kejahatan kapitalisme dunia yang sekarang dikomandani oleh Amerika Serikat.
sumber klik di sini
Saatnya Dunia Berubah, Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung
09.30
HMI Saintek
0 comments:
Posting Komentar